Reforma Agraria Bukan Sebatas Sertifikasi Tanah

Rabu, 19 Juni 2024
 Reforma Agraria Bukan Sebatas Sertifikasi Tanah

BULAN Agustus yang selalu disemarakkan dengan berbagai peringatan dan refleksi tujuan kemerdekaan berupa tegaknya “ kedaulatan rakyat “, tujuan yang lahir akibat kebijakan kolonialisme yang membungkam hak asasi masyarakat dengan berbagai peraturan kelas hingga penguasaan asset dan akses sumber daya alam.

Salah satu persoalan dalam era kolonialisme adalah kebijakan “Domein Verklaring” yaitu kebijakan mengambil tanah masyarakat yang tidak memiliki tanda bukti tertulis untuk dijadikan “Tanah Milik Negara” dan kemudian digunakan untuk kepentingan penanaman modal terutama sektor perkebunan, hingga melahirkan “Cultuur Stelsel” atau tanam paksa.

Tujuan utama kemerdekaan adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang secara kontekstual diterjemahkan sebagai demokrasi ekonomi atau pemerataan akses sumber daya ekonomi, sehingga proses pengaturan ulang sumber daya dan kekayaan alam sebagai jalan pendistribusian ekonomi menjadi mutlak dalam mewujudkan mandat kemerdekaan.

Sehingga dalam pembahasan konstitusi sebagai tujuan kemerdekaan melahirkan Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Sebagai tindak lanjut dari amanat konstitusi ini, kemudian melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960 sebagai aturan untuk melakukan perombakan penguasaan dan pengelolaan agraria, karena tingginya ketimpangan struktural (kepemilikan, penguasaan, distribusi, akses dan pemanfaatan) akibat dari UU Agraria Kolonial 1870.

Redistribusi Tanah Bukan Sebatas Sertifikasi
Konflik agraria atau pertanahan di Sumatera Utara sendiri memiliki hubungan yang erat dengan sejarah perkebunan dan Hak Guna Usaha (HGU), dari proses peralihan penguasaan kolonialisme dan kerajaan sebelum kemerdekaan, hingga perebutan penguasaan lahan masyarakat yang dituding komunis pasca peristiwa 1965 oleh negara.

Sebagai salah satu kantong konflik agraria dengan sejarah panjang, yang dimulai sekitar tahun 1863, tepatnya ketika pertama kali dibangun industri tembakau, hingga sebelum Perang Dunia Ke-2 di sepanjang pantai timur memiliki ± 250 Ha perkebunan, yang sering melahirkan konflik penguasaan tanah yang melibatkan masyarakat sekitar perkebunan.

Sedangkan dalam masa kemerdekaan terutama ketika peralihan perkebunan asing yang menjadi perkebunan Negara (BUMN) dan proses pelaksanaan amanat UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, dimana proses saling rebut lahan cukup masif terjadi seperti peristiwa Tanjung Morawa dan Bandar Betsi.

Pasca peristiwa 30 September 1965 hingga 1998 dalam masa pemerintahan Orde Baru, menjadi masa konsolidasi pengaturan tanah dengan menggunakan kembali “Domein Verklaring”, dengan alasan stabilitas ekonomi, tingkat penguasaan lahan berdasarkan HGU untuk investasi perkebunan swasta mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Dengan menggunakan tafsir pada UU No 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan asing, kemudian “Domein Verklaring” ini menyasar pengkategorian tanah konsesi yang diberikan Kerajaan atau Kesultanan sebagai hak guna (erfpacht) bagi perusahaan asing yang sejatinya merupakan tanah masyarakat dan tanah adat menjadi asset nasional.

Sementara dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo seolah masih terfokus sebatas sertifikasi atau adminstrasi tanpa menyentuh ide utama reforma agraria, yaitu pendistribusian ulang tanah untuk masyarakat yang benar –benar mengolah tanah sebagai sumber penghidupan keluarga

Dalam debat publik dan pidato Presiden Joko Widodo baik di periode pertama dan kedua pemerintahannya, janji untuk membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup, melalui reforma agraria sebagai salah satu Program Prioritas Nasional.

Prioritas presiden untuk menata ulang struktur agraria yang timpang sebagai jalan mendorong penguasaan berkeadilan dan menyelesaikan konflik agraria berkepanjangan, namun yang berjalan terkesan justru sebatas bagi-bagi sertifikat tanah secara gratis, namun tercatat munculnya berbagai kasus konflik agraria yang memunculkan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat belakangan ini.

Sementara konflik lama tidak terselesaikan yang lahir justru peristiwa konflik baru terkait pengelolaan agraria terkait tanah, tambang, dan pembangunan infrastruktur dengan warga setempat, termasuk maraknya praktek mafia tanah yang melibatkan pihak birokrasi dan penegak hukum

Dalam perkembangan terakhir justru yang terlihat adalah kebijakan yang memberikan kemudahan proses perizinan bagi investasi dalam skala besar dalam memanfaatkan sumber daya alam tanpa sepengetahuan masyarakat sekitar lokasi, bahkan seperti tidak melindungi dan mengembangkan hak masyarakat adat dan lokal.

Berbagai peristiwa yang dialami masyarakat adat dan lokal terutama yang tinggal di wilayah kaya sumber daya alam seperti tambang, penggarap tanah bekas HGU perkebunan dan kawasan strategis nasional justru mengalami tekanan, karena tidak mendapat pengakuan hak adat dan sejarah tanah, sehingga menjauhkan masyarakat dari habitat kehidupan adat, lingkungan serta akses pengembangan ekonomi.

Bahkan sering terlihat bagaimana tanah bekas HGU, yang telah habis masa berlakunya dan tidak lagi terkelola dengan baik oleh pihak BUMN atau swasta, yang seharusnya bisa menjadi objek reforma agraria untuk didistribusikan kepada masyarakat yang mengolah tanah atau petani penggarap justru jatuh kepada pengembang property dan investasi lainnya.

Sehingga terkesan sangat jauh dari program reforma agraria yang menjadi mandat konstitusi sebagai wujud tujuan kemerdekaan, yakni menyelesaikan ketimpangan struktur penguasaan agraria, dengan memastikan eksistensi masyarakat yang mengolah tanah sebagai subjek substansial dalam pemberian hak atau akses atas sumber daya alam.

Kalau kemudian program reforma agraria kemudian hanya diprioritaskan pada sertifikasi tanah dan legalisasi asset masyarakat, tentunya tidak perlu menggunakan kata “ Reforma Agraria ” karena sudah menjadi tugas dan fungsi Kementrian ATR/BPN untuk melaksanakannya secara jujur, mudah dan transparan.

Reforma Agraria dan Demokrasi Ekonomi
Pada pada 1 September 2021 Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menjelaskan bahwa proses redistribusi tanah konflik agraria kepada masyarakat baru mencapai 26,67 persen dari target 4,5 juta hektar lahan konflik, akibat belum terlaksananya kegiatan pelepasan hutan untuk reforma agraria.

Moeldoko juga menyampaikan ada sekitar 1,191 kasus pengaduan konflik agraria yang masuk ke istana melalui KSP pada 2021, dan menargetkan percepatan penyelesaian 137 konflik agraria yang terdiri dari 105 kasus/lokus di kawasan hutan dan 32 di kawasan non hutan.
Ditengah lambatnya re-distribusi lahan atas nama program reforma agraria, justru terkesan ijin dan konsesi pada penyebab konflik agraria seperti pertambangan, pengembangan property, pabrik dan infrastruktur seperti sangat mudah.

Padahal dalam UUD Negara RI 1945 Pasal 33 ayat (3), dan kemudian menjadi kaedah-kaedah pengaturan dalam UUPA 1960 menegaskan kewajiban memutus sejarah I’exploitation de I’homme par I’homme (eksploitasi manusia oleh manusia) terutama pasal 10 ayat 1; pasal 13 ayat 2 dan ayat 3; serta pasal 41 ayat 3.

Dalam rumusan UUPA No 5 tahun 1960, jelas yang di atur sejatinya bukan hanya sebatas tanah tetapi “agraria”, dalam Pasal 1 (ayat 1 sampai ayat 5) jelas sekali rumusannya: “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya ! “ inilah “agraria” selain permukaan bumi, juga tubuh bumi di bawahnya (ayat 4), juga yang berada di bawah air.

Dari rumusannya UU PA menjadi bagian penting dalam menemukan demokrasi ekonomi dan politik, yakni menjadi pondasi program pengaturan ulang penguasaan sumber daya ekonomi berupa tanah, air dan udara, karena kemerdekaan hak politik yang tidak diikuti kemerdekaan hak ekonomi akan melahirkan ketimpangan yang diwariskan kolonialisme.

Setelah 77 tahun merdeka, tentunya sangat dibutuhkan keseriusan dalam melakukan perombakan mendasar penguasaan agraria agar lebih berkeadilan, terutama dalam langkah pemerataan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang sering menjadi issue dalam hajatan politik seperti Pilpres.

Karena jika penataan dengan tujuan pemerataan dan distribusi pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan amanat UU PA No 5 Tahun 1960, maka proses penanganan dan penyelesaian konflik akan lebih mudah, dengan distribusi pengelolaan sumber daya juga akan mendorong penciptaan lapangan kerja sebagai langkah mengurangi kemiskinan.

Dengan memperbaiki dan menata ulang akses masyarakat, terhadap sumber daya ekonomi sebagai langkah mewujudkan demokrasi ekonomi, secara otomatis akan menjadi pendorong kesetaraan kapabilitas dan kapasitas masyarakat secara ekonomi dan sosial dan pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Sumber:


Lainnya

Kamis, 06 Februari 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPIDATO Presiden Prabowo Subianto di Jakarta pada 30 Januari 2025 dalam acara Rapim TNI-Pol

Senin, 23 Desember 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIPERNYATAAN pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Hukum, HAM

Selasa, 26 November 2024

Lembaga Non profit Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), mengatakan praktik politik uang yang dibiarkan secara terus m

Sabtu, 02 November 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIMOMENTUM pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 sudah mulai me

Selasa, 10 September 2024

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala da