Tantangan Politik Uang Dalam Pilkada
Sabtu, 02 November 2024
Penulis Direktur Eksekutif SMI
MOMENTUM pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 sudah mulai memasuki tahapan yang sangat krusia, yaitu tahapan kampanye yang merupakan bagian dari proses pendidikan politik bagi warga negara.
Namun sayangnya, dominasi pemahaman, opini ataupun stigma yang terbangun di masyarakat lebih didominasi pada pemikiran bahwa demokrasi dan pemilu terfokus pada perebutan atau pergantian kekuasaan semata
padahal dari literatur para founding fathers bangsa menyatakan bahwa demokrasi adalah cara untuk mewujudkan kemampuan manusia untuk mewujudkan setiap keadilan. dan kesejahteraan bersama.
Seperti dalam pembukaan UUD 1945: “Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Hingga mencapai tujuan kemerdekaan yang bersemboyan “Satu untuk semua dan Semua untuk Satu” dan sebagai pembatas potensi kecenderungan kekuasan yang tidak adil, maka dipilihlah demokrasi menjadi pilihan.
Walaupun demokrasi tidak akan menjamin kesamaan kondisi, tetapi demokrasi lebih memungkinkan kesamaan kesempatan setiap manusia, karena itu demokrasi bisa dikatakan sebagai alat atau cara hidupTetapi
kemudian proses demokrasi yang menjadi alat itu bergeser menjadi perebutan kekuasan yang melupakan tugas konstitusinya, terjebak pada yang dikatakan Ir Soekarno : “Parlementair demokrasi hanya ideologi politik. Parlementair demokrasi memberi kans yang sama secara demokratis kepada semua orang di bidang politik, itupun zoegenaamd [seharusnya]. Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda. Demokrasi parlementer adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik daun. ….. …kita dus sebenarnya tidak boleh menggunakan demokrasi parlemantaire atau demokrasi 50% plus 1 yang secara praktik dapat dirasakan dari media propaganda yang terbuka sangat menguntungkan para pemilik uang yang banyak. Atas nama demokrasi setiap pihak akan selalu mencurahkan energinya yang terbesar untuk mencoba membuktikan bahwa pihak lain tidak cocok untuk memerintah, dengan dalih bahwa yang mereka sampaikan adalah perjuangan kepentingan umum dan seolah-olah seolah pertarungan prinsip, padahal untuk kepentingan diri, kelompok hingga bisnisnya".
Politik Uang
Penyelenggaraan Pemilu 2024 melahirkan banyak kritik karena dianggap mengalami kemunduran secara substansi, terutama terkait dengan netralitas penyelenggara negara yang sangat terkait dengan kesetaraan dan keadilan hingga praktei politik uang yang semakin terbuka.
Pemilih yang paling rentan disasar dalam politik uang adalah pemilih nonpartisan (swing voter / no afiliasi partai politik), dimana secara faktual kontestan atau tim suksesnya mendistribusikan logistik atau uangnya ke pemilih yang terkoneksi dengan jaringan personal atau organisasi masyarakat tertentu, sebagai strategi terakhir dan utama dalam memaksimalkan suara pemilih dalam memperoleh kemenangan dalam pemilihan umum
Salah satu hasil penelitian dari lembaga Indikator Politik menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga sedunia dalam hal banyaknya praktik politik uang (membeli pemilih) saat pemilihan umum. Indonesia hanya kalah dari Uganda dan Benin. Tentunya menjadi fakta yang sangat mengecewakan.
Selain persoalan politik uang yang massal dan terbuka, ada beberapa indikator lainnya yang menunjukkan penurunan tersebut, seperti minimalnya tingkat representasi aspirasi masyarakat sangat tergantung pada kemauan dan pilihan partai politik.
Dengan kata lain menggambarkan bahwa sikap partai dalam Pilkada hanya soal peluang kemenangan, tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat secara umum, walaupun misalnya pasangan calon memiliki masalah dan catatan yang kurang baik dimata masyarakat.
Proses kampanye dan sosialisasi pasangan calon dalam Pilkada Serentak 2024 juga seperti menjadi pertarungan yang mengedepankan kelebihan dan kekurangan personal pasangan calon, bukan pada pendalaman atau mengkritisi visi, misi dan program yang ditawarkan untuk digali, apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak, hingga memungkinkan untuk dilaksanakan dengan kemampuan APBD setiap daerah
Para kontestan dan tim sukses lebih memilih pertarungan politik yang menguras energi dan emosi itu, entah sadar atau tidak, telah melakukan praktik polarisasi yang sebenarnya tidak menghasilkan apa- apa, karena yang diperdebatkan dan digosok- gosok lebih dominan pada upaya pembunuhan karakter seseorang atau kelompok, hingga persoalan yang menjawab pada kenyinyiran pada aktivitas orang atau golongan.
Padahal persoalan substantif dalam pergulatan kehidupan masyarakat dan pemerintah daerah seperti luput dari perbincangan, Ibarat ingin membersihkan hilir sungai, namun membiarkan hulunya dalam keadaan kotor, bahwa persoalan utama yang harus dicarikan solusinya adalah masih terdapat praktik korupsi yang mengemuka, ketimpangan pembangunan, kondisi infrastruktur yang rusak , hingga ketimpangan akses ekonomi dan penghidupan masyarakat.
Sebab sejatinya demokrasi tidak sebatas bahwa setiap orang diberikan kebebasan dalam lapangan politik, namun diukur dari kemajuan peningkatan kesetaraan dan keadilan kondisi ekonomi setiap wilayah dan orang.
Kebebasan pada lapangan politik bisa menjadi demokrasi semu jika aturan dalam lapangan ekonomi masih eksploitatif terhadap ekonomi menengah ke bawah, karena faktor keadilan ekonomi akan sangat mempengaruhi faktor politik, dengan kata lain siapa yang akan dominan menguasai ekonomi masyarakat akan menguasai politik
Persoalan ketimpangan ekonomi adalah masalah yang sangat berpengaruh pada terbukanya politik uang, diperburuk dengan melemahkan ketegasan dalam penegakan hukum, penyelenggara pemilu dan penegak hukum yang menerima penguatan kewenangan hukum tetapi tidak menegakkan keadilan hukum
Misalnya, pada kasus politik uang, sebenarnya tidak sedikit praktik politik uang yang disebarkan atau dipublikasikan di media sosial, namun penyelenggara pemilu, yang tentunya mengetahui pelaku politik uang, terkesan membiarkan dan tidak ada langkah untuk memberikan sanksi pidana dan administrasi kepada pelaku, padahal, ketentuan sanksi politik uang telah tegas dinyatakan dalam undang-undang.
Sejatinya pembiaraan massif praktik politik uang akan menjadikan pemilih kehilangan mandat demokratisnya untuk mengawasi dan menyiarkan kanditat yang terpilih, karena seharusnya demokrasi yang berkualitas salah satunya adalah menjaga kemampuan pemilih mengartikulasi hak akuntabilitas dalam mengawasi dan membukukan kinerja kandidat yang terpilih.
Pemenuhan Hak Warga
Beberapa permasalahan di atas adalah gambaran nyata dari penurunan kualitas substansi demokrasi yaitu keadilan dan kesetaraan yang menjadi amanat konstitusi, karena minimnya pemahaman bahwa proses pemungutan suara adalah manifestasi dari penyerahan sebagian pengaturan dan hak asasi atau hak dasar setiap warga negara kepada pilihannya
Karena pemerintah daerah pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan negara yang paling dekat dengan kebutuhan sehari-hari warga disetiap daerah, dengan kewenangan sebagai pemegang otoritas daerah yang mengambil keputusan terkait dengan hak warga atas pendidikan, perumahan, kesehatan, lingkungan serta hukum dan keselamatan.
Kepala daerah adalah pihak utama yang akan menentukan kualitas kinerja kinerja dan efektivitas satuan-satuan kerja pemerintahan daerah, yang mengoperasionalkan kehadiran negara yang terkait dengan kebutuhan yang mencakup hak dasar
Sehingga kepala daerah yang terpilih adalah cerminan masyarakat dari mutu dan kwalitas dari layanan dasar kepada masyarakat, termasuk kualitas ekonomi dan pengembangan kualitas kehidupan warga negara tanpa kecuali selama masa pemerintahannya.